SUMSELHEADLINE.COM, PALEMBANG — Terkait tersebarnya identitas Eddy Ganefo, Ketua Umum Kadin Indonesia yang ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Sumsel pada Selasa (10/10/2023) lalu, Kuasa Hukum Eddy Ganefo, H Antoni Toha mengatakan kalau saat ini pihaknya sedang mempertimbangkan untuk melakukan upaya hukum terhadap jaksa di Kejati Sumsel.
“Ya, kami sedang mempertimbangkan serta memikirkan langkah-langkah untuk mengambil upaya hukum terhadap oknum jaksa tersebut atas tersebarnya identitas klien kami. Karena saya ingat betul, pada saat pelimpahan tahap dua oleh Polda Sumsel itu sama sekali tidak ada media yang meliput serta dilakukan di ruang tertutup, juga hanya ada satu orang jaksa yang mengambil foto dan sudah diingatkan tim kami agar foto tersebut tidak untuk disebar. Diduga oknum jaksa itulah yang telah menyebarkan foto klien kami kepada awak media hingga kasus dan identitas klien kami terbongkar hingga akhirnya menjadi bahan pemberitaan hangat,” ujar Antoni, Sabtu (14/10/2023).
Saat oknum jaksa tersebut diingatkan oleh kami, lanjut Antoni Toha, jaksa tersebut menjawab kalau foto yang diambil hanya untuk kepentingan internal kejaksaan atau dengan kata lain untuk dokumentasi pihak kejaksaan.
“Tapi kenapa tiba-tiba ada tersebar foto klien kami. Harusnya pihak kejaksaan menghormati sikap kooperatif yang selama ini dilakukan oleh klien kami. Pada saat pelimpahanpun klein kami hanya diam dan tanpa perlawanan apapun, dan seharusnya jaksa juga tetap menghargai sikap kooperative klien kami ini dan mengedepankan azas praduga tak bersalah saat melakukan tugasnya sebagai jaksa.
Antoni Toha juga menyebut, perbuatan oknum jaksa yang secara vulgar membagkan foto tersebut hingga tersebar ke media, menimbulkan kesan seakan penahanan kliennya menjadi prestasi. Sehingga menggiring opini bahwa kliennya telah jelas bersalah sebelum ketok palu pengadilan. Bahkan saat ini kasus perdata masih berlangsung pada tahap banding, dikarenakan hakim tingkat pertama mempertimbangkan uang sebesar Rp 800 juta yang telah dikembalikan Eddy Ganefo.
“Itu artinya sudah ada pembayaran dan amarnya sudah secara tegas yang isinya bahwa tidak ada perintah bayar dari Klein kami ke Maryani atas sisa uang tersebut, bahkan sertifikat hak milik yang tadinya sebagai jaminan diminta untuk dikembalikan kepada yang berhak menerimanya dan bukan kepada Maryani,” katanya.
Disebutkan Antoni Toha, karena pada saat terjadinya proses pinjam meminjam tersebut ada perjanjian dengan jaminan, maka pihaknya selalu kuasa hukum Eddy Ganefo berkeyakinan secara hukum bahwa ini adalah kasus perdata.
“Apalagi jumlah kerugian pada Maryani itu berbeda, dimana dalam laporan polisi bahwa Maryani menyatakan kalau kerugian yang dialaminya sebesar Rp 1.7 miliar namun dalam rencana dakwaaan jaksa pada pelimpahan tahap dua kerugian Maryani Rp 500 juta, tapi di putusan Perdata di Pengadilan Negeri Palembang secara jelas dan tegas bahwa klien kami telah mengembalikan uang ke Maryani sebesar Rp.800 juta dari total Rp 1.7 miliar tersebut,” ujar Antoni Toha.
Jika demikian, lanjut Antoni Toha, seharusnya dalam kasus kliennya, perkara perdata didahulukan karena pada dasarnya sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perkara yang harus didahulukan apabila terjadinya sengketa perdata dan pidana secara bersamaan.
“Hal ini berdasarkan Undang- Undang nomor 1 Tahun 1950 tentang susunan, kekuasaan dan jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia yang mana pada pasal 131 disebutkan, jika dalam jalan pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan, dan didasari hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun 1956 apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu, berarti dalam hal ini sudah menjadi jelas bahwa dalam terjadinya perkara perdata dan pidana yang bersamaan dapat dilakukan pemutusan terlebih dahulu perkara perdata sebelum memutus perkara pidana,” bebernya.
Lebih lanjut Antoni Toha juga mengatakan bahwa sesuai dengan apa yang disampaikan C Djisman Samosir yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan saat sebagai ahli dalam sidang praperadilan sengketa Henry Jocosity Gunawan pada tahun 2017, dimana C Djisman Samosir menyampaikan pendapatnya bahwa perkara pidana seharusnya ditunda terlebih dahulu prosesnya, hingga gugatan perdata yang diperiksa memiliki putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
“Bahkan Mahkamah Agung pun pernah menjatuhkan putusan untuk melakukan penundaan perkara pidana dengan terlebih dahulu menunggu penyelesaian perdata sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 628 K/Pid/1984, dimana dalam putusan tersebut Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan memerintahkan untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap mengenai status kejelasan kepemilikan tanah yang merupakan kasus perdata, hal ini dikarenakan apabila status keperdataan belum memiliki kejelasan, maka perkara pidana tidak dapat dilanjutkan,” pungkasnya.
Berdasarkan hal- hal diatas, lanjut Antoni Toha, patut diduga bahwa pihak kejaksaan telah melakukan kesalahan dalam melakukan upaya hukum terhadap klien kami.”Dasar hukum yang saya sampaikan telah jelas dan itu sesuai dengan perundangan – undangan yang mengatur hukum di negara kita ini, atas hal itulah, kami sampaikan sekali lagi bahwa kami saat ini tengah memikirkan dan menyusun upaya hukum terhadap oknum jaksa yang telah menyebarkan foto klien kami dan juga dugaan bahwa pihak kejaksaan telah salah mengambil tindakan hukum terhadap klien kami,” tegasnya. (Ela)
Editor : Ferly