SUMSELHEADLINE.COM–Bulan Ramadan memang penuh berkah. Tak hanya amal perbuatan baik yang berlipat ganda, tapi juga rezeki.
Salah satu rezeki di bulan Ramadan adalah usaha kuliner, baik yang modern sampai tradisional. Untuk sejumlah daerah di Sumsel, salah satu menu tradisional yang muncul di bulan puasa adalah jenis lemang.
Lemang sering dijadikan penganan berbuka puasa di rumah-rumah warga desa. Makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan, lalu dimasak bambu muda ini, ternyata masih menjadi makanan primadona di Kota Lubuklinggau.
Terbukti, omzet pengrajin dan penjual makanan tradisional Lemang di kota ini meningkat signifikan, dibandingkan hari-hari biasa.
Seperti yang diungkapkan Megawati (54), warga Kelurahan Karya Bakti, Kecamatan Lubuklinggau Timur II. “Kalau hari biasa beras ketan 10 kg saja tidak habis sehari, tapi Ramadan ini alhamdulillah, sehari 2 sak beras ketan kemasan 25 kg, habis,” ungkap Mega.
Bersama sang suami Bustomi (58), wanita paruh baya ini kompak membolakbalikan bambu yang sudah terisi beras ketan plus santan sebagi bahan pembuat lemang. Panasnya terik matahari dan api dari kayu bakar, seperti tak dirasakan oleh pasangan suami istri ini.
Keduanya terlihat begitu bersemangat menjemput rezeki berlipat yang datang di bulan penuh berkah ini. Ya, memang omzet yang didapat keduanya menjadi berlipat ganda di bulan puasa.
“Kemarin, 200 batang habis semua,” ujar Megawati dengan ramah dan ceria.
Rasa syukur dan kebahagiaan begitu tergambar jelas di wajah Megawati, saat melayani awak media untuk wawancara. Ya, wajar karena dua kali Ramadhan 2 tahun lalu (2020-2021), bisnis makanan tradisional lemang yang sudah digelutinya sejak tahun 1993 sempat macet. Itu dialami Megawati karena terdampak pandemi Covid-19.
“Kalau 2 tahun kemarin macet, tapi tahun tidak ada lagi Corona jadi Alhamdulillah penjualan meningkat,” kata Mega dengan senangnya.
Menurut Mega, selama 2 hari ini dia dan suaminya memulai aktivitas memasak Lemang dimulai dari pukul 06.00 WIB sampai sekitar pukul 11.00 WIB. “Itu ada dua tungku yang kita pakai, tapi yang itu sudah selesai tinggal satu ini,” ujar Megawati menunjukan bekas bara dan tungku dari potongan besi sebagai sarana membakar Lemang.
Menurut Megawati, kami hampir saja terlambat melihat proses memasak Lemang. Karena sebagian sudah selesai dimasak, bahkan beberapa diantara sudah ada dimabil pembeli untuk dijual kembali. Karena memang selain masak untuk jual sendiri, ada juga yang dijual (over) ke penjual lain.
“Kalau jual sendiri di pasar kaget, itu ada 4 meja punya ibu, karena selain Lemang, ada juga jual yang lain seperti tapai ketan hitam, sarikaya,” jelas Megawati.
Ya Lemang memang selain nikmat di nikmati langsung, juga akan lebih nikmat bila dicocol dengan sarikaya, atau bila musim durian dimakan dengan kuah kolak durian. Eeeemmm, jadi mau buru-buru berbuka.
Selain di Pasar Kaget di Kelurahan Permiri, Megawati, ternyata juga menjual Lemang di depan RS Bunda Megang. Tentu saja yang menjual orang lain, tapi suplay Lemang dari dirinya.
“Hari biasa, ibu jualan di Pasar Inpres,” ujarnya.
Untuk harga jual Lemang sendiri, pertabung bambu dijual Rp 15 ribu. Sedangkan Srikaya untuk cocolannya Rp5 ribu. Dengan merogo kocek Rp20 ribu sudah bisa menikmati Lemang Bu Megawati.
Harga jual itu, menurutnya tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. “Meskipun beras ketannya naik tapi lemangnya tetap dijual Rp 15 ribu, tidak apa untungnya tidak banyak yang penting lancar saja,” kata Megawati.
Untuk memberikan alternatif rasa, Megawati membuat 3 varian rasa Lemang. Pertama Lemang Gurih, lemang ini terbuat dari campuran ketan dan santan yang ditambah sedikit garam untuk rasa gurihnya. Kemudian varian manis yang ditambahkan air gula aren dan ketiga varian pisang. “Lemang varian pisang ini ibu gunakan pisang ambon, tapi hari ini varian pisang kosong karena stok pisangnya sedang kosong,” pungkasnya.