SUMSELHEADLINE.COM, PALEMBANG — Heboh kabar tentang dugaan amoral terhadap seorang mahasiswi oleh salah satu petinggi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di sebuah PTN di Sumsel, ditanggapi serius oleh para alumni BEM.
Termasuk di antaranya Dimas Mahir Perkasa, mantan Menko Pengembangan Mahasiswa BEM Unsri tahun 2020, turut angkat bicara mengenai kabar adanya dugaan pelecehan yang terjadi baru-baru ini.
Dimas Mahir Perkasa mengatakan terkait konteks BEM bahwa skandal yang ketahuan baru pada dugaan kasus pelecehan seksual. Namun menurutnya, kampus-kampus lain saat ini kasusnya sudah mulai beragam, mulai dari penggelapan uang, penyelewengan agenda BEM, kongkalikong yang ugal-ugalan dengan politisi dan pengusaha, dan masih banyak lagi.
Untuk itu lanjutnya, misi untuk menciptakan alumni-alumni kampus yang terafiliasi dengan nilai-nilai kebaikan mulai saat ini harus mulai digencarkan lagi. “Ada dua setidaknya poin permasalahan yang turut berkontribusi melahirkan fenomena amoral itu,” ujarnya, Minggu (27/10/2024).
Diuraikannya, poin permasalahan pertama yaitu adanya ikut campur pihak Rektorat dalam proses pemilihan Ketua BEM. Dikatakan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini salah satu syarat untuk menjadi Ketua dan Wakil Ketua BEM di PNT itu, harus mendapatkan rekomendasi dari Wakil Dekan III bidang kemahasiswaan.
“Dan pada kenyataannya Ketua dan Wakil Ketua BEM yang lahir dari ikut campurnya birokrat kampus dua tahun terakhir ini, justru selalu tersandung masalah etik,” terangnya.
Ada yang jadi timses Dalam Pilpres, dan yang terbaru tersandung kasus amoral yang notabenenya tak pernah terjadi pada era Presiden Mahasiswa (Presma) atau Ketua BEM dan pengurusnya yang murni lahir dari demokrasi mahasiswa tanpa campur tangan rektorat.
Bukankah ini artinya harusnya Wakil Dekan III yang memberi rekomendasi, ikut punya andil dan tanggung jawab? “Tapi rasanya tidak mungkin ikut bertanggung jawab kan? Kakanya kalo mau lepas tangan jika ada kasus, jangan mau campur tangan dalam prosesnya. Sekadar mengingatkan saja,” tulisnya.
Poin kedua, masih dalam rilisnya adanya aktivitas keagamaan mahasiswa yang saat ini semakin dibatasi. Menurut Dimas, semakin dibatasinya aktivitas-aktivitas keagamaan di lingkungan mahasiswa, menjadi salah satu akar masalah.
Sehingga, berakibat pada rapuhnya fondasi rohani di kalangan mahasiswa. Ini tidak lepas dari intervensi pemangku kebijakan di Kampus (Rektorat/Dekanat) yang seolah-olah melakukan penekanan terhadap kegiatan keagamaan di kampus.
Contohnya saja, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Nadwah, yang sejak lama eksis dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan serta Syiar Islam secara masif, justru diganti namanya dengan UKM Seni Budaya Islam.
Buntutnya, aktivitasnya organisasinya hanya dipandang sempit sebatas ritus dan seni Islam, dan bukannya fokus pada penanaman moral dan akhlak yang selama ini menjadi concern UKM Nadwah.
Padahal, ada masjid besar di sana, tapi justru hening dari aktivitas keagamaan. Normalisasi hal seperti, masih menurut Dimas, artinya membiarkan sekretariat BEM semakin menjadi tempat yang suram untuk mahasiswi, jauh dari tujuan idealnya untuk kaderisasi kepemimpinan yang bersih dan mampu meneruskan estafet kepemimpinan nasional mendatang. (Ela)
Editor: Ferly