PENULIS : RUSTAM, SH dan Prof Hj Isnawijayani, MSi, PhD
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UBD Palembang dan Direktur Pascasarjana UBD Palembang
JIKA tak ada aral lintang, pemilihan umum legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) di Indonesia akan digelar pada Februari 2024. Pesta demokrasi itu akan memilih anggota dewan, baik DPRD Kabupaten/kota, DPRD provinsi, maupun DPR RI. Dan khusus pesta demokrasi kali ini, bersamaan waktunya dengan Pilpres.
Terkait itu, sejak enam bulan terakhir, gonjang ganjing tentang sistem pemilihan umum legislatif (Pileg) 2024 terjadi di masyarakat Indonesia, terutama kalangan politisi dan akademisi. Setelah sekelompok orang mengguggat ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sistem pemilu terbuka seperti yang digariskan dalam UU No. 7 tahun 2017. Para penggugat meminta agar sistemnya diubah tertutup, dimana pemilih cukup memilih gambar partai politil (Parpol), tidak harus memilih nama-nama calon legislatif (Caleg) yang ada di kertas suara di daerah pemilihan (Dapil) masing-masing, seperti halnya dengan sistem pemiihan terbuka selama 10 tahun terakhir.
Atas gugatan itu, majelis hakim MK pun sudah memutuskan bahwa gugatan ditolak. Artinya pemilu 2024 tetap dengan sistem terbuka. Lalu bagaimana selama ini kelebihan dan kekurangan sistem pemilu terbuka untuk Pileg tersebut?
Dalam sistem pemilu terbuka, selain memilih gambar partai politik, pemilih juga harus memilih nama yang ada didaftar Caleg papol tersebut. Sistem ini memungkinan warga bebas memilih siapa yang dia kehendaki di daftar Caleg itu. Artinya, bila sudah didaftar Parpol, berikutnya rakyatlah yang menentukan siapa yang akan duduk atau terpilih nanti di legislatif. Siapa suara terbanyak di daftar itu, maka dialah yang terpilih. Sehingga partai tak lagi berkuasa penuh menentukan siapa yang bakal duduk di legislatif. Walaupun tetap ada mekanisme dan hak partai untuk mengganti anggota dewan yang sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat itu, namun sulit dan menempuh proses panjang, baik di administrasi pemerintahan, mekanisme partai, bahkan di pengadilan.
Tentu sistem ini positif dari sudut kedekatan pemilih dengan orang yang dipilih. Pemilih tentu akan memilih orang yang dia kenal. Sehingga saat dia duduk di legislatif, warga dapat langsung berkomunikasi. Sederhananya, pemilih dapat menagih janji si calon saat kampanye, atau langsung bisa menyampaikan bila memang ada aspirasi.
Beda bila sistem tertutup, pemilih kemungkinan tak kenal dengan orang yang dipilih parpol untuk duduk di legislatif. Karena orang yang terpilih nanti adalah yang ada di urutan pertama, yang urutan itu kewenangan penuh parpol. Biasanya, yang duduk di urutan atas adalah kroninya pentolan partai, walaupun mungkin yang bersangkutan belum mempunyai kapasitas dan kapabilitas.
Lalu apa kemungkinan dampaknya sistem pemilu terbuka? Berkaca dari pengalaman tiga Pileg sebelumnya, salah satu dampak buruknya adalah maraknya politik uang. Bahkan politik uang ini sudah tak lagi menjadi rahasia umum. Karena tak jarang Caleg terang-terangan melakukan politik uang tersebut. Istilah politik uang itu sendiri tak melulu berbentuk uang cash, namun juga barang, misalnya sepeda motor, handphone, atau barang bernilai lainnya.
Kondisi kesadaran politik rakyat yang madih rendah, ditambah faktor ekonomi, serta pendidikan yang relatif belum memadai, membuat pemilih secara umum di Indonesia menjadi sasaran empuk Caleg ataupun Parpol untuk melakukan politik uang. Tentu saja politik uang ini sangat tidak mendidik, bahkan menjadikan racun bagi anak bangsa ini.
Dampak buruknya, uang sangat berkuasa. Sehingga siapa yang banyak uang, maka kemungkinan besar dia yang tepilih. Ironisnya, bila yang punya uang itu orang yang tidak layak sebagai wakil rakyat, yang pada akhirnya rakyatlah yang rugi.
Seorang teman penulis yang kini duduk di legislatif, mengakui secara terang-terangan bahwa uang sangat menentukan untuk dapat terpilih menjadi anggota dewan, selain jaringan (koneksi) dan juga kemampuan (kapasitas). Dia mencontoh, untuk setiap pemilih disiapin uang Rp 50.000-100.000, dengan beragam dalih misalnya untuk uang lelah, uang makan, atau uang transport.
Sehingga untuk Caleg DPRD Sumsel, bisa menyiapkan minimal Rp 1,5 miliar. Untuk DPRD kabupaten/kota Rp 500-700 juta, dan DPR RI bisa mencapai Rp 5 miliar. Itupun menurutnya tidak ada jaminan bakal terpilih. Namun dengan dana besar, maka selain dapat menggerakkan mesin politik, juga dapat menjadi perangsang (ikatan) moral bagi pemilih yang menjadi sasaran politik uang.
Dari fakta-fakta tersebut di atas, maka rasanya berat mengandalkan si Caleg nanti bila terpilih menjadi anggota dewan. Karena dia menganggap sudah “bayar” untuk suaranya itu. Lalu tentu dia akan melakukan berbagai cara bagaimana modal Caleg tersebut kembali.
Dampak buruk lainnya, rakyat terninabobok dengan politik uang, tanpa memikirkan dampaknya ke depan bagi bangsa, daerah, dan generasi mendatang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pemilu terbuka itu sangat berpotensi membuka peluang politik uang. Dimana rakyat dicekoki dengan hal-hal yang prakmatis dan mengabaikan idealisme dan integritas diri.
Kondisi ini tentu saja menjadi tugas berat semua elemen, terutama pemerintah, bagaimana pemilu ini mendidik masyarakat untuk berdemokrasi. Perlu dipikirkan secara matang sistem pemilu yang digunakan, dengan menyampingkan kepentingan kelompok.
Sehingga bangsa ini tidak terus menerus dibodohi dengan politik uang, yang hanya membuat makin berkembangnya oligarki di bumi pertiwi ini. Semoga !!!.
Editor : Ferly